Jambinews.id - Rangkaian pelaksanaan ibadah haji Tahun 2024 belum usai namun di tanggal 9/7/2024 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diinisiasi oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin) resmi membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengevaluasi penyelenggaraan ibadah haji 2024.
Peresmian pansus hak angket haji tersebut diresmikan melalui Rapat Paripurna ke-21 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 pada Selasa 9/7/2024 yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Terdapat tiga alasan besar kenapa pansus hak angket ini dibentuk sebagaimana yang disampaikan oleh Selly Andriany Gantina anggota Komisi VIII DPR RI, yaitu:
1. Penetapan dan pembagian kuota haji tambahan tidak sesuai dengan UU nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan haji dan umrah pada pasal 64 ayat 2 yang berbunyi “Kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari kuota haji Indonesia”.
2. Adanya dugaan indikasi penyalahgunaan kuota tambahan oleh pemerintah di tengah adanya kuota tambahan
3. Layanan Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) masih belum ada perubahan karena kesepakatan yang tidak sempurna
Sebagai informasi tanggal 30 Juni 2023 kuota haji yang didapatkan Indonesia tahun 2024 adalah 221.000 orang yang pembagiannya 92% dialokasikan untuk haji regular dan 8% untuk haji khusus, maka jumlah alokasi haji 2024 sebesar 203.320 untuk haji regular dan 17.680 untuk haji khusus sesuai dengan amanat UU nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan haji dan umrah pada pasal 64 ayat 1 dan 2.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, tambahan kuota 20.000 mendapat approval (persetujuan) dari Kementerian Haji dan Umrah Saudi pada 8 Januari 2024 (6 Bulan setelahnya).
Tentunya tambahan kuota haji yang diberikan mengikuti Momerandum Of Understanding (MOU) antara Pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi tentang Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun berjalan.
Perhitungan kuota untuk setiap Negara mengacu pada Kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) tahun 1986 di Amman, Jordan yang menyatakan bahwa Kuota Haji 1:1000, yaitu dari setiap seribu orang penduduk muslim di suatu negara, berhak mendapatkan 1 kursi Jemaah Haji, dan tambahan yang diberikan ekuivalen dengan jumlah penduduk muslim Indonesia sebesar 241 Juta jiwa.
Lalu adanya tambahan 20.000 ini yang menjadi entry point anggota DPR tersebut mengusulkan dan meresmikan pansus hak angket, karena pemerintah dalam hal ini Menteri Agama mengalokasikan kuota haji tambahan 20.000 tersebut 10.000 untuk jemaah haji reguler dan 10.000 untuk jemaah haji khusus.
Menanggapi alasan pertama dibentuknya pansus hak angket haji ini, saya berpendapat baiknya kepada inisiator dan anggota yang lain untuk belajar Bahasa Indonesia yang baik dan benar, karena term “Khusus” dan “Tambahan” itu adalah dua term yang memiliki perbedaan arti yang sangat jauh, dan juga sebagai orang yang bertugas membuat undang-undang sebaiknya memahami dengan baik undang-undang yang sudah dibuat.
Kenapa saya berkata demikian karena kesannya para pihak yang menginisiasi pansus hak angket haji ini tidak memahami secara utuh UU nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan haji dan umrah.
Terkait kuota tambahan sudah dijelaskan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut pasal 9 ayat (1) Dalam hal terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah Menteri menetapkan kuota haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Menteri menetapkan kuota haji tambahan, ayat (2) berbunyi Ketentuan mengenai pengisian kuota haji tambahan diatur dengan Peraturan Menteri.
Disini saya berpendapat bahwa sikap Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dalam menyikapi kuota haji tambahan sebesar 20.000 tersebut sudah tepat sesuai kewaenangan yang diamanatkan undang-undang dan tidak ada undang-undang yang dilanggar.
Menanggapi alasan kedua kenapa dibentuk pansus hak angket haji, alasan ini sangat tidak logik, saya tidak tahu apa dasar dan unsur yang dituduhkan kepada Pemerintah tentang dugaan penyalahgunaan wewenang yang dituduhkan, ini sepehaman saya hanya tuduhan yang tidak mendasar atau sentiment belaka.
Seharusnya DPR selaku mitra pemerintah memberi apresiasi kepada pemerintah yang sudah sukses melaksanakan tugas berat ini dengan jumlah jamaah sebesar 241.000 mulai dari perencanaan, pelaksanaan walau pun sampai saat ini belum usai rangkaian pelaksaanaan haji, dan sampai nanti proses evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan ibadah haji tahun 2024
Menanggapi alasan ketiga kenapa dibentuk pansus hak angket haji ini nampaknya DPR perlu memahami bahwa rangkain pelaksaan haji tidak hanya terfokus di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Rangkain ibadah haji dimulai dari perencanaan, pelaksaan, dan evaluasi, tentunya ini memakan energy, fikiran dan tenaga yang besar, sangat tidak elok jika anggota dewan yang terhormat hanya memandang rangkaian ibadah haji ini hanya di Arafah, Muzdalifah, dan Mina saja.
Terkait pelaksanaan rangkain ibadah haji di Armuzna pemerintah sudah melakukan beberapa upaya diantaranya proses simulasi terus dilakukan, menyusul Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan baru tentang pembagian zona (zonasi) di wilayah Mina.
Kebijakan yang terbit pada Desember 2023 ini membagi kawasan Mina dalam lima zona. Dua zona di dekat kawasan Jamarat (zona yang selama ini digunakan haji khusus), zona tiga dan empat di wilayah setelah terowongan Mu'aishim, sedang zona lima di Mina Jadid.
Masing-masing zona ada standar biayanya. Semakin dekat dengan jamarat (tempat lontar jumrah), semakin mahal biayanya. Setelah dihitung, baik soal biaya maupun kepadatan, jemaah haji Indonesia bisa menempati zona 3 dan 4.
Proses kontrak penyediaan tenda dan layananannya tetap first come first served, meski tetap diatur. Sebab, selain Indonesia, zona 3 dan 4, ditempati juga jemaah dari Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan China.
Dengan tambahan kuota yang ada, Kemenag melakukan kajian, terutama berkenaan dengan skema zonasi berikut biayanya, serta kepadatan karena keterbatasan lahan di Mina. Setelah dihitung, jemaah reguler bisa menempati zona 3 dan zona 4.
"Setelah dilakukan kajian, tidak semua kuota tambahan bisa ditempatkan di zona 3 dan 4. Dari kajian itulah didorong untuk bisa masuk ke zona 2 yang relatif masih kosong. Tapi itu beda jalur. Bisa dipakai haji khusus.
Sebaiknya DPR dan Komisi VIII DPR RI mengalokasikan fikiran, tenaga dan wewenang yang ada untuk menyoroti masalah-masalah keagamaan yang serius di Indonesia saat ini.
Masalah agama di Indonesia bisa menjadi topik yang sensitif dan kompleks untuk ditangani oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Beberapa isu yang mungkin perlu diperhatikan antara lain:
1. Intoleransi dan Radikalisme: Adanya gerakan atau kelompok-kelompok yang menggunakan agama sebagai alasan untuk melakukan kekerasan atau menolak pluralisme dan kebebasan beragama.
2. Diskriminasi Agama: Masih ada kasus-kasus diskriminasi terhadap minoritas agama di beberapa daerah, baik dalam kebijakan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.
3. Ketidakadilan dalam Hukum: Terkadang hukum atau regulasi diinterpretasikan secara tidak adil terhadap individu atau kelompok berdasarkan agama mereka.
4. Kurangnya Perlindungan terhadap Minoritas Agama: Perlindungan terhadap hak-hak minoritas agama sering kali belum memadai di beberapa daerah.
5. Pendidikan Agama: Isu-isu terkait kurikulum pendidikan agama, pengajaran agama di sekolah-sekolah, serta keberagaman pendekatan dalam pengajaran agama.
6. Hubungan Negatif antar Agama: Tindakan atau retorika yang memperburuk hubungan antar agama dan menyebabkan konflik sosial.
7. Blasfemi dan Kebebasan Berbicara: Konflik terkait batasan-batasan dalam kebebasan berekspresi yang berkaitan dengan nilai-nilai agama.
DPR dapat mengatasi masalah-masalah ini dengan membuat dan mengesahkan kebijakan yang mempromosikan toleransi, melindungi hak-hak individu, dan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi semua warga negara Indonesia tanpa memandang agama atau kepercayaan mereka.
Ini memerlukan dialog yang inklusif dengan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh agama, untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan mendalam..